Sumber: Freepik |
"Melahirkan itu pekerjaan sekali. Tapi jadi orang tua itu pekerjaan seumur hidup." - Dara
Kutipan dari film Dua Garis Biru ini membuat saya berpikir banyak sekali tentang menjadi orang tua. Mulai dari keinginan, kemarahan, penolakan hingga penerimaan. Terus saya juga beberapa bulan lalu menamatkan drakor Hi Bye Mama. Kisah parentingnya dalem banget ampe buat mata bengkak huhu. Belum lagi ada Reply 1988 yang membuka terang-terangan hubungan orang tua dan anak yang mendekati realistis. Pokoknya tuh ya ada adegan yang pecah banget harunya, waktu di pernikahan Bora, doi nangis kejer karena liat bapaknya pakai sepatu kegedean yang dia beliin. Duh! *kalau kalian gak ngerti cus sekarang juga langsung nonton Reply 1988 mumpung PSBB :p
Dalam film Dua Garis Biru dan Reply 1988, ada kesamaan peran orang tua yang akrab dengan anak, walaupun di perjalanannya ada konflik yang terjadi. Kehidupan saya gak gitu. Saya gak punya ikatan yang akrab dengan Mama dan Papa. Sebenernya males nih nulis ginian ntar jadi emosional terus drama haha. Soalnya saya anaknya drama banget :p. Tapi gapapa deh, akhirnya saya tetap memutuskan menulis ini. Agar suatu hari nanti kalau saya memutuskan "berani" jadi orang tua, saya bisa memilih jalan yang berbeda.
(Baca: Pindah itu buat lelah)
Sejak kecil saya selalu ditinggal bekerja. Kasih sayang yang saya dapatkan ya dari tetangga yang kebetulan mengasuh saya. Saya mana ngerti tuh main sama orang tua. Saya cuma ketemu mereka di pagi dan malam hari. Saya tidak mengenal komunikasi dengan mereka. Dan hubungan tanpa komunikasi itu berlangsung lama hingga saya remaja.
Setelahnya saya dididik dengan kelas "militer". Saya bisa menulis sebelum usia 5 tahun, wow seperti pencapaian. Padahal ada tangan dan jari babak belur yang ditusuk menggunakan pensil tajam yang baru saja diserut. Saya sudah bisa menghafal perkalian 1 sampai 10 sebelum genap 6 tahun. Wow hebat, kata orang-orang. Padahal ada lambung yang tidak bisa makan kalau saya belum selesai mengghafalkan sederet angka itu.
Rapot SD yang di kategori ranking tidak pernah bergeser dari 3 besar. Wow cerdas, kata orang-orang. Namun itu semua ada keringat dan darah di atasnya. Tidak terhitung libasan buku, ikat pinggang bahkan hanger baju. Semua pernah mendarat di tangan, di kaki bahkan seluruh badan.
Komunikasi saya dan ke dua orang tua saya bekerja diantara teriakan dan kesakitan. Dan dari sanalah saya akhirnya sadar, jiwa pembangkang itu lahir huahaha. Saya pernah kabur dari rumah saat kelas 4 SD. Gila ga tuh anak SD kabur pakai tas ransel yang ada roda gituh isinya buku semua dan ga ada baju lol. SMP saya juga pernah kabur. SMA untungnya lebih kooperatif. Saya tidak biasa mengungkapkan apa yang saya rasa kepada mama dan papa. Dan itulah celah keretakan hubungan orang tua dan anak di rumah saya.
Puncaknya tentu saja saya menjadi anak yang sangat keras kepala, ditambah hormon pubertas yang menggelora, duh kalau diinget lagi saya malu sekaligus bersyukur. Malu karena HEY JADI PEREMPUAN KENAPA BEGITU AMAT KELAKUANNYA :)). Bersyukur karena berkat itu saya dan mereka akhirnya mencapai titik nol.
(Sudah baca: New normal?)
Untuk pertama kalinya di usia saya yang hampir 19 tahun, saya menitikkan air mata di depan mereka dan berkata saya muak dipukuli. Saya lelah diteriaki. Saya capek. Dan tanpa saya sadari ke dua pasang mata yang kemudian saya sadari kerut di mata mereka semakin bertambah hari demi hari, juga mengalir butir butir perak itu. Mereka menangis karena tangisan saya.
Banyak isak tangis yang ada di hari itu. Seluruh pengakuan dan permohonan. Saya kira mama dan papa adalah dua makhluk rumit yang seumur hidupnya hanya banyak menutut pada saya yang anak pertama. Saya tahunya mereka ingin saya jadi seperti apa yang mereka mau tanpa peduli apa yang saya mau. Namun hari itu, hari di mana kami bertiga akhirnya saling jujur satu sama lain, saya mengerti. Sebuah perjalanan panjang yang mereka paksa untuk saya lalui ternyata adalah pelajaran yang tidak akan pernah saya lupakan. Itu menyakitkan tapi setimpal dengan apa-apa yang akan saya hadapi di masa depan.
Saya dan mereka akhirnya bertemu pada satu pintu: maaf. Mereka akhirnya menerima bahwa saya juga adalah makhluk hidup yang eksistensinya ada untuk dihargai bukan dilukai. Didikan yang mereka bawa dari leluhur itu, mungkin bukan cara yang tepat untuk karakter anak seperti saya. Saya juga akhirnya menerima bahwa pola asuh yang mereka berikan ya emang kaya gitu, keras namun bermanfaat. Kami mengambil jalan tengah atas apa-apa yang kami sukai atau tidak sukai agar tidak lagi terjadi konflik rungsing di rumah ini.
Bertahun-tahun kemudian lewat sejak hari itu. Tidak pernah lagi ada pukulan atau kekerasan di rumah saya. Tidak ada lagi teriakan (kecuali kalau saya berantem sama adik yang akan saya ceritakan dikemudian hari). Walau sulit mengganti tahun-tahun yang lewat, kami mengembalikan komunikasi ke dalam hubungan orang tua dan anak di rumah ini. Hingga saat ini saya yang telah jauh banyak berubah, telah lebih menjadi dewasa, bisa melihat ke belakang, melihat semua yang terjadi antara saya dan orang tua saya dengan tersenyum.
Kami memang tidah sehangat keluarga lain yang saling memeluk untuk menunjukkan rasa sayang. Tapi saya tetap sayang mereka, dengan cara apapun kami sekarang mampu berkomunikasi. Saya tahu ini juga tidak mudah untuk mereka, karena menjadi orang tua adalah pekerjaan seumur hidup (yang ga ada buku manualnya).
-ameliasepta-