Baju Adat Nias (biasanya digunakan untuk pernikahan/ tarian) |
Sebelumnya gue membuat tulisan ini dengan tidak bermaksud menjatuhkan suku apapun. Ini murni adalah cerita hati eeeaaakkkk dari seorang anak perempuan yang dilahirkan dari suku Nias. Tulisan ini juga tidak bermaksud menyinggung seseorang atau siapapun, jadi plis plis plis jangan ada yang terbawa perasaan. Tapi kalau kalian butuh curhat silahkan kontak di bawah ini wkwkwk.
HERE.
WE.
GO.
Seperti yang uda gue jelasin di atas. Gue adalah anak perempuan yang beruntungnya dilahirkan dari seorang ayah yang bersuku Nias. Tau ga kalian Nias di mana? Itu loh yang ada lompat batunya. Gak tau juga? Lautan di Nias sering banget didatengin turis buat berselancar. TERUS KALIAN GA TAU JUGA? GOOGLE SHAY!
Tapi gue gak "murni" Nias sih karena mama adalah orang Solok asli. Solok itu di Sumatera Barat ya gaisss. Jadi ceritanya gue adalah blasteran *mulaikepedean*. Gue lahir di Padang dan sejak umur 3 bulan udah di bawa ke Batam yang mana sekarang adalah menjadi tempat penuh kenangan seumur hidup gue. Nah! Dari pencampuran kedua suku ini tentu saja membuat gue sama sekali tidak bisa berbahasa daerah Nias (kalau sekarang ngerti orang ngomong apaan, tapi gak bisa jawab. Itu tuh kaya suka tapi ga bisa bilang). Begitulah kira-kira permulaannya.
Beranjak dewasa, gue baru tau ada tradisi yang selalu dianut oleh beberapa orang tua (karena papa gue tentu saja gak termasuk) dengan suku Nias (atau mungkin suku-suku lainnya) yang mengharuskan anak-anak mereka menikah dengan orang yang bersuku Nias juga.
OKE.
BAIK.
Awalnya gue abai tentang peringatan ini. YA GIMANA ORANG TUA GUE AJA BEDA SUKU :))
Dan itu adalah hal yang sangat amat gue syukuri lahir dan batin. Papa gue yang sudah merantau sejak tamat sekolah tidak memiliki pikiran seperti di atas untuk calon suami anaknya kelak. Menurut dia, asalkan laki-laki itu adalah laki-laki yang baik, bertanggung jawab, dan bisa menafkahi, apapun sukunya, dia akan merestui.
*SUNGKEM PAPA*
Tapi semakin menginjak usia yang dibilang orang-orang "usia menikah". Gue banyak mendengar cerita pilu dari temen-temen perempuan sesama suku Nias. Kita kan gak bisa memilih bagaimana dan dengan siapa kita akan jatuh cinta. Dan banyak dari mereka, terutama perempuan, memiliki pacar yang bukan dari suku Nias.
Dan itu adalah sebuah masalah, bagi para orang tua mereka.
Beberapa temen gue, memiliki pacar dengan suku *** (sensor) harus menghadapi kenyataan pahit tidak direstui oleh orang tuanya. Padahal menurut mereka, pasangan mereka itu adalah yang terbaik untuk menjadi tulang rusuknya dan mapan dalam pekerjaan. Mereka ditolak hanya karena perbedaan suku.
Sakit yah?
Gue pernah bertukar pikiran dengan papa, mencari tahu alasan apa yang membuat keharusan untuk urusan pasangan hidup ini harus sesama suku Nias. Dan ternyata alasannya sangat sederhana sekali. Pertama, untuk menikah dengan suku Nias ada adat istiadat yang harus dipenuhi (anak perempuan di suku Nias biasanya akan diberikan "harga" untuk calon suaminya, kira-kira mirip kaya mahar gitulah ya), lalu ada juga beberapa langkah adat pernikahan yang sepertinya sulit dilakukan jika itu berasal dari luar suku.
UDAH GITU DOANG?
WKWKWKWK
Kalau masalah adat-adatan menurut gue bisa dipelajari kan?
Terus kalau emang akhirnya memaksakan anak untuk menikah dengan sesama suku, lalu ternyata di kemudian hari, entah pasangannya itu kasar, berkepribadian buruk, tukang selingkuh (cuma contoh), apakah orang tua akan bahagia melihatnya?
In my opinion,
Teruntuk semua keluarga-keluarga yang menyatakan keharusan atas suatu suku tertentu untuk menjadi pasangan hidup anaknya, mengertilah Bapak dan Ibu, ada hal-hal yang tidak bisa diatur begitu saja. Ada perasaan yang timbul dan mengalir apa adanya saat bertemu dengan seseorang yang membuat bahagia, di atas keharusan untuk suku tertentu, Nias terutama, karena tidak bisa dipungkiri gue adalah perempuan berdarah Nias, bahagia itu datang bukan dari sukunya. Tapi dari kepribadian orangnya. Nilailah secara bijak pasangan yang diperkenalkan untuk menjadi calon jodoh anak-anak Bapak dan Ibu. Berikan penilaian bukan dari sukunya, tapi dari tanggung jawabnya, dari keimanannya terhadap Penciptanya, dari kasih sayang dan ketulusannya terhadap anak-anak kalian, dan yang paling penting apakah dia mampu membahagian anak kalian dalam kehidupan mereka kelak.
Karena sesungguhnya menikah itu adalah tentang menua bersama.
Untuk apa bersama jika tidak bahagia...
Love,
ameliasepta
UDAH GITU DOANG?
WKWKWKWK
Kalau masalah adat-adatan menurut gue bisa dipelajari kan?
Terus kalau emang akhirnya memaksakan anak untuk menikah dengan sesama suku, lalu ternyata di kemudian hari, entah pasangannya itu kasar, berkepribadian buruk, tukang selingkuh (cuma contoh), apakah orang tua akan bahagia melihatnya?
In my opinion,
Teruntuk semua keluarga-keluarga yang menyatakan keharusan atas suatu suku tertentu untuk menjadi pasangan hidup anaknya, mengertilah Bapak dan Ibu, ada hal-hal yang tidak bisa diatur begitu saja. Ada perasaan yang timbul dan mengalir apa adanya saat bertemu dengan seseorang yang membuat bahagia, di atas keharusan untuk suku tertentu, Nias terutama, karena tidak bisa dipungkiri gue adalah perempuan berdarah Nias, bahagia itu datang bukan dari sukunya. Tapi dari kepribadian orangnya. Nilailah secara bijak pasangan yang diperkenalkan untuk menjadi calon jodoh anak-anak Bapak dan Ibu. Berikan penilaian bukan dari sukunya, tapi dari tanggung jawabnya, dari keimanannya terhadap Penciptanya, dari kasih sayang dan ketulusannya terhadap anak-anak kalian, dan yang paling penting apakah dia mampu membahagian anak kalian dalam kehidupan mereka kelak.
Karena sesungguhnya menikah itu adalah tentang menua bersama.
Untuk apa bersama jika tidak bahagia...
Love,
ameliasepta
Ooouhh...gitu...
BalasHapus