Setelah membaca bagian kedua dan melihat foto ini, pasti kalian semua berpikir keren banget yah udah bisa menginjakkan kaki di Atap Sumatera/ Gunung Berapi Tertinggi di Asia Tenggara/ 3.805 mdpl atau apapun sebutannya gunung gagah ini. Engga. Gue ga sekeren itu. Senyum gue yang di foto itu juga dengan susah payah gue tunjukkan. Ada perjuangan mati-matian untuk gue sampai di sini. Ada orang yang ikut menangis sambil memeluk gue saat gue hampir tidak sadarkan diri. Dan cerita yang akan gue bagikan ini adalah sebagai pengingat bahwa gue pernah bermimpi segila ini. Punya tekad sebesar ini. Memiliki kekuatan hati setegar ini. Dan beruntungnya, mempunyai orang yang selalu mendukung gue di saat apapun.
JADI?
KITA MULAI YHA...
Entah sudah berapa lama kami berjalan. 3 diantara kami sudah sampai di puncak. Tapi kami bertujuh yang masih keras hati untuk naik ke atas tertatih di jalur berat ini. Kami pun terpisah-pisah. Bang Dayat sama sahabat gue, Putri. Gue ama Rama, di depan ada Angga, Tiara (MASIH 16 TAHUN BTW), dan Dio (ini juga masih muda deh kayanya sekitar 20 tahunan). Karena jalurnya lebar banget kita terpisah-pisah. Masing-masing mencari pegangan dan pijakan yang aman.
Gue beberapa kali hampir jatuh kepeleset. Tapi kalian tau lah yakan, punya bodyguard pribadi yang selalu jagain. Padahal dia aja gamang ada di ketinggian kaya gini. Ngeluh pusing juga beberapa kali. Tapi tangan dan kaki dia selalu sigap buat nolongin gue yang jatuh. Di tengah perjalanan ini gue menangis. Badan sudah tidak sanggup lagi. Capek banget. Tapi entah kenapa hati gue terus 'memaksa' untuk naik. Gue menangis tersedu-sedu cukup lama. Dan mengajak Rama untuk turun. Rama dengan sabarnya menunggu sampai tangis gue reda. Dan dia mengatakan hal yang manis sekali.
"Sayang, aku tau kamu capek. Tapi coba ingat lagi perjuangan kita sampai di sini. Kamu dari batam naik pesawat, aku dari Pekanbaru motoran. Ke sininya aja udah sulit dan kita tuh tinggal dikit lagi. Kamu tenangin diri dulu yah, aku tetap di samping kamu. Kalau kamu mau turun ayuk. Kalau kamu mau naik ayuk juga. Terserah pilihan kamu yang mana, aku bakal ada di samping kamu"
PLIS YANG JOMBLO JANGAN IRI PLIS :)))
Tapi begitulah perempuan, di mulut bilang apa hati maunya apa.
Barusan minta turun tapi gue malah jalan ke atas.
Iye ke atas dan bukannya ke bawah.
Rama dengan setia lagi-lagi mengiringi langkah gue, tepat di belakang.
Waktu terus berjalan. Sedikit lagi sampai di Tugu Yudha kami diterpa hujan badai dan angin kencang. Dengan kedinginan kami semua bersembunyi di sela-sela batu besar. Dan saat itu 3 orang teman kami yang sudah selesai muncak juga turun dan bertemu kami di sini. Kami diam dalam pikiran masing-masing. Gue yakin sih pasti pikiran mereka berkecamuk. Antara turun atau naik. Terusin atau berhenti. Mundur atau maju. Tapi sahabat gua yang dari Batam, yang namanya Putri itu, keras hati banget dia mau sampai ke puncak. Dan gak mungkin dibiarkan sendirian kan? Gue tau kenapa dia sekeras itu. Perjuangan kami sudah terlalu jauh untuk berhenti sekarang. Akhirnya kami bertujuh memutuskan, minimal kita sampai di Tugu Yudha dululah. Kaki ini kembali melangkah maju.
Dan kami sampai di Tugu Yudha tepat jam 3 sore.
Tugu Yudha
Sebelum melanjutkan cerita, kita mundur sebentar waktu gue lagi belanja beberapa makanan di Batam. Kami waktu itu ada di depan coklat. Putri berkata ke gue tau gak ada cerita yang beredar dikalangan pendaki tentang Yudha.
"Katanya kalau kita berniat dari bawah membawa coklat/ makanan untuk Yudha, maka Yudha secara misterius akan mengambil coklat itu, entah lewat pendaki lain atau cara apapun. Dan katanya saat kita berniat baik kepada Yudha maka Yudha akan memberikan pertolongan kepada pendaki tersebut."
Ini percaya gak percaya sih yah, karena semua gunung tentu punya cerita kaya gini. Gue dan Putri memutuskan untuk melakukan ini, kita berdua berniat membawa coklat. Bukan dari kaki gunung tapi dari Batam loh niatnya :)) (Walaupun coklatnya Putri udah dimakan rame-rame sama anak-anak yang summit dan coklat gue ketinggalan di dalam tas tapi ternyata kami benar-benar merasakan "kebaikan Yudha").
Di dekat Tugu Yudha, berdiri juga Tugu atas nama Adi Permana
Kami semua berdiam diri dan menatap Tugu Yudha. Entah kenapa saat berada di sini hati kok kayanya sedih banget. Dan gue meneteskan air mata lagi. Gak tau yah gimana dengan teman-teman yang lain. Tapi gue sedih banget, gak tau juga kenapa -_-
Gue udah gak kuat lagi. Temen-temen yang lain juga. Kita semua udah ada di kondisi yang tidak memungkinkan lagi sampai di puncak. Hari juga sudah sangat sore. Tapi puncaknya sekarang ada di sini, di depan mata kami, ibaratnya kami tinggal buka pintu dan masuk. Kalau kami gak masuk sekarang entah kapan kesempatan itu datang lagi. Angga dan Bang Dayat bercakap-cakap menggunakan bahasa Minang memutuskan, menimbang, apakah perjalanan ini akan dilanjutkan atau cukup sampai di sini. Dan tentu saja kami dengan keras kepala melanjutkan perjalanan di tengah angin kencang dan kabut.
Angga, Tiara, dan Dio (walau berat hati gue akan mengakui) dengan usia mereka yang masih muda tentu saja mereka dengan cepat memimpin di depan. Tanpa terasa mereka sudah jauh di atas sana. Putri dan Bang Dayat menyusul setelahnya, dengan tertatih juga. Gue dan Rama paling belakang.
Dan saat paling mendebarkan juga menyeramkan dalam hidup gue, terjadi.
Jarak mulai melebar antara kami dengan yang lainnya. Kabut mulai tebal dan jalur mulai tidak terlihat. Fisik gue yang udah letih banget mulai drop. Gue terduduk. Lagi-lagi menangis. Angin bertiup sangat kencang. Saat itu gue memakai baju 4 lapis ditambah jaket yang tebel banget, tapi gue tetep menggigil. Ini dingin yang gak biasa.
Rama sempat berkata "Len, gapapa kalau kita ga bisa sampai di puncak gunung yang ini. Masih banyak juga kok puncak gunung lain yang bisa kita injak barengan. Yang penting itu ya kamunya. Kalau kamu mau tetap naik, aku temenin. Tapi kalau kamu mau turun, aku juga bakal ada di samping kamu."
Gue cuma terduduk dan mulai mengantuk. Ini artinya gue dalam bahaya. Rama yang melihat gue diam mulai panik. Dia memaksa gue untuk terus berjalan. Satu langkah berjalan, gue duduk lagi. Kantuk yang datang bener-bener buat badan gue gak berdaya. Angin bahkan semakin kencang dan temen-temen gue tidak terlihat lagi. Karena kencangnya angin yang datang, Rama memaksa gue untuk sembunyi di antara batu-batu. Walaupun tidak ada lagi batu yang terlalu besar di sini tapi setidaknya badan gue agak tertutupi. Gue udah lemah banget. Gue cuma pengen tidur. Tapi setiap kali nyaris tertidur, Rama menampar pipi gue. Saat badan gue mulai oleng terbaring, dia menggoncangkan keras badan gue.
Waktu itu yang terpikir adalah apakah hidup gue berakhir di sini? Di tempat yang paling gue cintai? Terus orang tua gue gimana? Gue belum sempat pamitan. Bayangan keluarga gue mulai bergantian muncul di kepala gue. Kepala gue berat dan gue cuma ingin tidur. Rama yang melihat kondisi gue udah separah itu gak tau harus ngapain. Kami cuma berdua di sini. Dia beberapa kali meneriakkan nama temen-temen kami yang di depan berharap mereka mendengar dan datang memberi pertolongan. Tapi hal itu sia-sia belaka. Kabut terlalu tebal dan membawa teriakan Rama entah ke mana. Rama berkali-kali memaksa gue untuk tetap sadar. Tidak dia biarkan gue menutup mata walau sekejap. Entah gue bermimpi atau tidak tapi sepertinya gue melihat dia menangis di tengah ketakutannya. Kalau gue "pergi" sekarang, apa dia bakal baik-baik aja? Hati gue bertanya. Dia tidak berhenti menggosokkan telapak tangannya ke gue yang bukannya hangat tapi makin dingin karena angin. Dia belum kehabisan akal. Dia berniat membuat api dan yang bisa dibakar saat itu hanyalah gaiter yang ada dalam tasnya. Tanpa ragu dia membakar gaiter itu. Tindakan yang sia-sia tentu saja karena angin benar-benar kencang. Gagal membuat api yang dia lakukan hanya memeluk gue sambil berkata "kamu kuat len, kamu kuat.". Berkali kali dia menyebutkan kalimat itu.
Dan percayakah kalian pada yang namanya keajaiban?
Entah sudah berapa lama gue dan Rama terhenti di jalan itu. Mungkin temen-temen gue udah sampai di atas sana. Dan gue masih ada di sini, menggigil, kedinginan, tapi tidak sendirian. Dan angin yang sedari tadi kencang menghantam tubuh kami berdua entah kenapa tiba-tiba mereda. Langit yang hitam kelam mendung seketika berubah berawan bahkan membiru. Kabut tidak lagi tebal. Tidak benar-benar hilang tapi membuat jalanan menuju puncak kembali terlihat. Seharusnya di saat kaya gitu yang gue lakukan adalah turun kan? Tapi engga, gue gak akan menyerah semudah itu. Entah dapat kekuatan dari mana gue berdiri.
Gue menatap Rama dan bertanya "aku kuat kan yang?"
Dia mengangguk. Dan mengusulkan untuk berjalan secara perlahan. Dia bilang semampunya saja. Kalau di tengah perjalanan teman-teman kita turun berarti segitulah perjalanan yang mampu gue tempuh bersama dia. Berjalan dua langkah gue melihat dia di belakang dan kembali bertanya,
"aku kuat kan yang?"
"aku bisa kan yang?"
Cuma dua pertanyaan ini yang selalu gue tanyakan. Dan Rama selalu mengatakan "KUAT. KAMU KUAT". Selangkah demi selangkah. Kami semakin ke atas. Teringat pesan salah satu teman yang sudah ke puncak bahwa gue gak boleh jalan lurus terus, gue harus berbelok ke sebelah kiri karena di depan itu langsung kawah gunung ini. Setiap langkah gue dan Rama bergantian meneriakkan nama Bang Dayat, Putri, dan Angga. Berharap mereka mendengar. Karena fokus pada jalanan gue dan Rama sempat terpisah sedikit. Gue di sebelah kiri dan Rama di sebelah kanan. Dan saat itulah gue melihat teman-teman gue.
Gue menangis.
Bang Dayat dan Angga yang melihat gue dan Rama datang langsung berlari menjemput kita. Gue hanya bisa terdiam di tempat gue berdiri tanpa bisa melangkah lagi. Itu temen-temen gue. Mereka ada di depan gue. Dan gue sekarang ada di puncak. Gue gak bisa berhenti menangis. Saat Bang Dayat sudah dekat dengan gue dia langsung memeluk gue sambil menangis. Angga yang menghampiri Rama juga menangis. Sungguh perjalanan ini tidak mudah. Gue ditarik untuk berjalan ke arah temen-temen gue yang lain dan memeluk mereka satu per satu sambil mengucapkan selamat.
Kami bertujuh berhasil menginjakkan kaki di puncak tertinggi Sumatera!
Kalau bukan karena wanita berjaket merah itu, gue dan mereka semua tidak akan ada di sini. Keras hatinya memotivasi kami untuk terus melangkah maju.
Mukanya sok bahagia padahal kami habis nangis tersedu-sedu, dia bahkan sudah membuat video kirim salam untuk gue dan Rama, karena mengira kami tidak akan sampai di atas sini :')
My guardian angel :)
Kami tidak berlama-lama ada di puncak karena sudah sangat sore. Kami memutuskan untuk turun. Cuaca masih lumayan cerah. Saat turun kami memutuskan kembali mampir di Tugu Yudha, Rama bilang kami harus "berterimakasih". Agak bingung sebenarnya tapi gak mau bertanya juga. Mungkin benar cerita orang, terkadang Yudha memberi bantuan kecil (gue masih percaya sama Tuhan Yang Maha Esa, tapi gak ada salahnya memberi apresiasi di alam ini). Kami mampir di sini dan lagi-lagi kesedihan menghampiri kami. Kayanya emang kalau ke Tugu Yudha ini auranya sedih banget yah. Gue meninggalkan dua gelang di bawah batu masing-masing tugu. Sedikit ucapan terima kasih dari yang hampir "lewat" di atas sana.
Jalan turun masih jauh gaisssssssssssss :(
Perjalanan turun lumayan berat. Karena namanya juga jalur turun pasti dua kali lipat lebih berat. Tapi yang sebenarnya membuat berat adalah kondisi fisik kami yang sangat memprihatinkan. Gue sadar ini adalah tindakan yang sangat salah. Harusnya kami menyisakan tenaga untuk turun. Shelter 3 sudah tampak di depan sana dan langit seketika berubah mendung. Petir terdengar besahut-sahutan. Karena posisi kami yang masih di ketinggian, rasanya petir dekat sekali dengan telinga. Kami mempercepat jalan turun. Di bawah sana teman-teman yang sudah duluan summit tadi ternyata menunggu kedatangan kami, aduh terharu. Ada yang berlari menghampiri kami memberikan air minum. Ada yang menawarkan bantuan. Kondisi kami yang parah banget ini gak memungkinkan untuk kami balik ke Shelter 2, entah bagaimana caranya, teman kami berhasil membujuk yang lagi camp di Shelter 3 untuk kami tumpangi. Kan udah gue bilang tadi di gunung mah orangnya baik-baik hahahha.
Sebelum sampai di tenda, hujan disertai angin kencang mulai turun. Jangan sampai kami kena badai sebelum sampai di tenda. Gue kembali oleng. Nyaris pingsan. Bahkan berjalan aja udah gak sanggup. Rama dengan stamina yang udah habis juga gak bisa berbuat apapun buat bantuin gue. Dia berteriak memanggil 2 orang di depan kami, Ikram dan Tedi. Mereka berdualah yang membopong (menyeret lebih tepatnya) sampai di tenda. Dan sampai di tenda, badai tiba. Gue yang setengah pingsan mulai menggigil. Dan yang ditakutkan tentu terjadi. Hipo (lagi) pft. Beruntung anak-anak yang tendanya kami tumpangi berbaik hati sekali kami repotkan dan menolong gue serta yang lainnya. Badai berlangsung cukup lama dari habis maghrib sampai lewat tengah malam. Kami cuma bisa meringkuk di tengah-tengah angin yang menderu-deru di luar sana. Benar-benar mengerikan malam itu :(
HARI KE 5 - 02 Juli 2018
Tapi badai pasti berlalu. Pagi hari tiba. Dan ternyata abang yang kemarin sempat membuat kami down itu berbaik hati membawakan beberapa sleeping bag juga makanan untuk kami. Perut akhirnya terisi juga. Pagi itu kami disambut dengan matahari dan langit biru. Melihat pemandangan seindah ini agak gak percaya kalau tadi malam, alam baru saja mengamuk.
Gunung Tujuh ada di belakang sana
Dia drop juga semalam wkwkw
Abang berbaju hitam dari sebelah kanan dan di samping yang berjaket biru, adalah yang berbaik hati membiarkan kami menumpang dan menolong gue hipo tadi malam
THANKYOU KALIAN :3
Kami tidak berlama di sini dan segera turun. Ini udah hari ke-5 yang artinya besok adalah jadwal pesawat pulang kami. Jadi hari ini juga kami memutuskan turun gunung. Perjalanan dari Shelter 3 ke Shelter 2 tidak terlalu terasa semenyakitkan kemarin saat naik. Sesampainya di Shelter 2 kami langsung bersiap-siap, packing seluruh barang, dan turun. Tas yang di pundak menjadi lebih lebih lebih berat. Karena semua baju dan barang basah. Tasnya basah. Tapi udahlah tinggal turun ini, gue menguatkan hati.
Naik turun kami berempat gak terpisahkan pokoknya :))
Tim Marapi di Shelter 2
Gak beda jauh sama naik, pas turun pun dibantai lumpur
Perjalanan dari Shelter 2 sampai pos 3 berjalan dengan aman. Tapi dari pos 3 dan pos 1 kami merasakan banyak kejadian aneh. Mungkin karena fisik kami yang lemah makanya kami gampang terkena "gangguan". Tapi puji Tuhan semua berjalan dengan baik-baik saja. Walau agak lambat kami sampai di Pintu Rimba pukul enam sore. Lagi-lagi kami dijemput karena mereka khawatir kami belum juga sampai. Dan perjalanan melelahkan ini ditutup dengan bersih-bersih di Warung Pakde di kaki gunung.
Ada satu hal yang menyedihkan tentang Kerinci. Walaupun sudah berstatus Taman Nasional tapi kebersihan di gunung ini benar-benar tidak terjaga. Di Shelter 3 sampah bertaburan dan tidak dibawa turun. Sedih melihat banyak sekali orang yang naik ke atas sini tapi tidak mawas diri tentang sampah mereka sendiri.
Sampah di belakang teman saya itu :(
*tolong jangan salah fokus, mereka emang aneh wkwkw*
Di sini juga banyak :(
Besar harapan semoga pemerintah bisa lebih tegas terhadap semua pendaki di gunung ini. Jangan biarkan mereka meninggalkan sampah di sini. Gunung ini terlalu indah hanya untuk dikotori dengan sampah.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Gunung Kerinci, 3.805 mdpl.
Adalah sebuah perjalanan yang tidak akan pernah gue lupain seumur hidup.
Perjalanan ini mengajarkan gue banyak hal.
Tentang menjadi lebih sabar, menjadi lebih tabah, menjadi lebih kuat, menjadi lebih tegar.
Tentang persahabatan yang saling mendukung.
Tentang memilih keputusan-keputusan penting.
Tentang dia yang tidak pernah meninggalkan.
Terimakasih Kerinci.
Ceritamu tersemat dalam relung hati.
-ameliasepta-
Berikut rincian biaya untuk mendaki gunung Kerinci:
Tiket PP Batam-Padang = 1.329.200 (promo airy dan pemesanan saat peak season)
Sewa mobil dan akomodasi = 1.000.000
Iuran kelompok (inc: logistik, simaksi, biaya lain-lain) = 200.000
Gue tidak menghabiskan uang lebih dari 500.000 (di luar tiket pp). Jauh lebih murah dibanding harus ikut open trip. Jadi yuk segera atur perjalananmu ke sini.
Bonus pict:
Lelah ya Ram, gimana ke puncak pelaminan coba :))
Keren kali ah kakak ini, dari dulu penasaran juga sama gunung kerinci ini tapi belom kesampaian buat merasakan pengalaman hebat seperti ini nih
BalasHapusLangsung ke sana kak, jangan ragu!
HapusSerasa aku ada di sana sama Kakak. Ikut merasakan lelah. Dan berjuang sampe puncak. Kakak hebat!
BalasHapusAlamnya lebih hebat :)
HapusTerimakasih sudah mampir dan membaca yah :)
Ini menjadi suatu inner motivation ketika suatu hari menghadapi masalah, yg lebih susah aja aku pernah jalani, maka masalah ini tdk ada apa2nya.. ciee
BalasHapus.cie
Bener koh! AKU LEBIH BESAR DARI MASALAHKU :)
HapusKeren pake banget nih! Seumur-umur belom pernah naik gunung, mana sekarang ada dua krucil. Kalo sampe ketiduran di gunung tar yang ngurusin si krucil sapa coba, hehe!
BalasHapusKalo uda punya krucil mending main ama krucil aja kak haha
Hapuspengen banget naik ke Gunung Kerinci ini, tapi sampai sekarang belom kesampaian. salut sama mbak Amel. juara banget dah
BalasHapusLangsung bang atur perjalanannya ke sana!
HapusWhat a great experienced..Benar-benar salut akan perjuanganmu dan rekan-rekan summit hingga Kerinci. Aku bukan anak gunung, tapi baca novel tentang pendaki gunung dan perjuangan mereka, termasuk kamu, aku salut. Tidak semua orang bisa, tapi optimisme di tengah ketidaksanggupan...oh girl, i got it from your spirit. My hats off to you!!!
BalasHapusaaaaaahhh thanks a lot kak chay :3
HapusSalut sama perjuangannya. Ketinggian 3800an mdpl lho. Aku aja baru sampai ketinggian 3500an mdpl. Itu pun naiknya pake kereta. Lol
BalasHapusThanks bang!
Hapuspengen banget lho ke ketinggian kayak gini
BalasHapustapi ... kalau sekarang sudah tidak sanggup lagi kayak nya
walaupun tetap masih semangat yang sama
ketika jatuh ... pasti bakal bangkit lagi ( dalam beda perjuangan )
semangat ... cayooo
Semangat kak!
HapusWow.. berat sekali ya untuk mencapai puncak gunung Dan kalau aku sudah give up dari awal hihi... Go girl! Lanjut kemana pertualangan na?
BalasHapusYuk kak semeru ::3
HapusWaktu kuliah banyak berteman dengan anak-anak Mapala dan sering dengar mereka naik gunung ini dan itu sampai pernah tertarik pengen ikutan. Dan ternyata, behind the scene naik gunung itu benar-benar penuh perjuangan dan air mata ya bukan kayak piknik atau hiking naik bukit clara alias bukit welcome to Batam. wkwkwk... Tapi salut deh karena akhirnya bisa sampai puncak juga.
BalasHapusMakanya indah dan keren"an foto di puncak itu semu, yg membuat berbekas adalah perjuangan dan perjalanannya. Thanks kakkk :3
Hapuswahh gunung kerinci atap tertinggi di sumatera, saya pingin banget mendaki kesana
BalasHapus